1. Pengertian Siswa
Tunadaksa
Siswa adalah “anak atau orang yang
sedang belajar, bersekolah” (KamusBesarBahasaIndonesia,
2008).
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan pada Pasal 1 poin 4
bahwa siswa merupakan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi
diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu. Sementara menurut Dahlan (2015) siswa adalah orang yang
datang ke suatu lembaga untuk memperoleh atau mempelajari bebera tipe
pendidikan. Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa siswa adalah
anak atau orang yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Tunadaksa adalah
bentuk kelainan atau kerusakan pada sistem otot, tulang, dan sendi yang
bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi
(Assjari, 1995:34). Sementara itu menurut Somantri (2007:121) tunadaksa
merupakan suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas
normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. Somantri
membedakan pengertian tunadaksa ini dengan pengertian cerebral palsy.
Pengertian tunadaksa menurut Somantri di atas lebih kepada tunadaksa dengan
gangguan sistem musculus skeletal. Sedangkan Assjari pada pengertian tunadaksa
di atas dimaksudkan mencakup semua jenis tunadaksa baik yang gangguan sistem
musculus skeletal maupun yang gangguan sistem cerebral.
Pengertian tunadaksa
yang lain diungkapkan Nursalim dkk (2007:142) bahwa tunadaksa adalah anak yang
mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi,
otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika
mereka mengalami gangguan gerakan karena kelayuan pada fungsi syaraf otak,
mereka disebut cerebral palsy (CP).
Berdasarkan beberapa
pengertian tunadaksa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tunadaksa adalah
bentuk kelainan atau kerusakan pada sistem otot, tulang, dan sendi yang
bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi
sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan khusus.
Berdasarkan penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa siswa tunadaksa adalah anak atau orang yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
yang mengalami bentuk kelainan atau kerusakan pada sistem otot, tulang, dan
sendi yang bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan
pribadi sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Jenis-Jenis Siswa
Tunadaksa
Assjari (1995:35)
mengklasifikaskan tunadaksa dilihat dari sistem kelainannya menjadi tiga jenis,
yaitu kelainan pada sistem serebral (cerebral
system disorder), kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system), dan kelainan
karena bawaan (congenital deformities).
Sementara Somantri (2007:121) membagi tunadaksa menjadi dua, yakni tunadaksa
dan cerebral palsy. Yang dimaksud
tunadaksa dalam Somantri yaitu sama dengan kelainan pada sistem otot dan rangka
(musculus skeletal system) dalam
Assjari. Cerebral palsy dalam
Somantri adalah kelainan pada sistem serebral (cerebral system disorder) dalam Assjari.
a. Kelainan
pada Sistem Serebral (cerebral system
disorder)
Letak penyebab
kelainan ini berada di dalam sistem saraf pusat. Adanya kelainan pada sistem
saraf pusat mengakibatkan adanya kelainan gerak, sikap, ataupun bentuk tubuh,
gangguan koordinasi, terkadang disertai gangguan psikologis atau sensoris.
b. Kelainan
pada Sistem Otot dan Rangka (musculus
skeletal system)
Letak penyebab
kelainan ini hanya pada sistem otot dan rangka dan bukan karena kelainan sistem
saraf pusat. Anggota tubuh yang biasanya mengalami kelainan yaitu kaki, tangan,
sendi, dan tulang belakang.
Baca Juga : Pendidikan Jasmani Adaptif (Pengertian, Manfaat, dan Karakteristik)
Baca Juga : Pendidikan Jasmani Adaptif (Pengertian, Manfaat, dan Karakteristik)
3. Karakteristik Siswa
Tunadaksa
Karakteristik
tunadaksa menurut Assjari (1995:63) dijabarkan ke dalam beberapa aspek, antara
lain perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, dan
perkembangan bahasa atau bicara.
a. Perkembangan
Fisik
Secara umum dapat
dikatakan bahwa perkembangan fisik siswa tunadaksa hampir sama dengan siswa
normal kecuali pada bagian tubuh tertentu yang mengalami kerusakan atau bagian
tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut (Somantri, 2007:126).
Dengan kata lain, kondisi fisik siswa tundaksa dapat berkembang normal, kecuali
pada bagian tubuh yang mengalami kelainan atau hambatan.
Menurut Assjari
(1995:71), siswa tunadaksa dengan kelainan pada sistem otot dan rangka
bentuknya antara lain berupa kelumpuhan otot, kerusakan otot, dan kelemahan
otot. Kelainan-kelainan tersebut mengganggu gerakan, baik gerak lokomosi, gerak
di tempat, maupun gerak mobilisasi. Sementara itu, siswa tunadaksa dengan
kelainan pada sistem serebral memiliki hambatan perkembangan fisik berupa
gangguan motorik dan gangguan sensoris (Astati, 2009:9). Gangguan
motorik terjadi karena adanya kerusakan di bagian pyramidal trac dan atau extrapyramidal
di otak sehingga menyebabkan adanya kekakuan, kelumpuhan, gerak tak terkontrol,
gerak ritmis, dan gangguan keseimbangan. Sedangkan gangguan sensoris juga
disebabkan adanya gangguan di otak sehingga terjadi gangguan penglihatan,
pendengaran, atau perabaan.
b. Perkembangan
Kognitif
1) Perkembangan
Kognitif Siswa Tunadaksa Musculus
Skeletal System (kelainan sistem
otot dan rangka)
Pada sebagian besar
siswa tunadaksa jenis ini, kondisi ketunadaksaannya tidak langsung menyebabkan
kesulitan belajar dan menghambat perkembangan intelegensi (Somantri, 2007:129).
Astati (2009:6) mengungkapkan bahwa pada umumnya tingkat kecerdasan siswa
tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal
sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal. Sebagian besar
siswa dengan gangguan sistem otot dan rangka berkecerdasan normal. Hal ini
karena kelainan yang dialami oleh siswa tunadaksa jenis ini tidak berhubungan
langsung dengan otak (Assjari, 1995:72).
2) Perkembangan
Kognitif Siswa Tunadaksa Cerebral System
Disorder (kelainan sistem saraf pusat)
Dari beberapa data,
diketahui kondisi intelegensi cerebral
palsy yaitu 45% mentally defective (keterlambatan
mental), 30% borderline(ambang batas bawah intelegensi normal), dan 25% normal
atau di atas normal
(Assjari, 1995:68). Kurva hasil pengukuran intelegensi cerebral palsy menunjukkan bahwa semakin
tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya. Hal inisesuaidengan yang dikemukakan oleh Hallahan dan Kauffman
(1994:425)
bahwasiswatunadaksadengankelainansistemsarafkebanyakanmemilikihambatanintelektual
dan perseptual. Meskipun demikian, menurut Assjari
(1995:68) tidak ditemukan hubungan secara langsung tingkat kelainan fisik
dengan kecerdasan atau intelegensi cerebral
palsy. Dengan kata lain, meskipun kondisi cerebral palsy berat bukan berarti memiliki intelegensi yang
rendah.
Anak cerebral palsy mengalami kelainan pada
otaknya. Adanya kelainan ini mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan,
pendengaran, rabaan, bicara, dan juga bahasa. Akibatnya perkembangan kognitif
pun otomatis menjadi terganggu.
c. Perkembangan
Sosial
Perkembangan sosial
siswa tunadaksa berkaitan erat dengan konsep diri (Assjari, 1995:71). Dikatakan
oleh Assjari bahwa konsep diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya.
Konsep diri bukanlah bawaan, melainkan diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan.
Sikap orang tua,
keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri siswa tunadaksa (Somantri,
2007:132). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hallahan dan Kauffman (1994:425)
bahwa sikap siswa tunadaksa terhadap lingkungan sosialnya bergantung pada
bagaimana sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan
masyarakat secara umum.Siswa tunadaksa dapat menghargai dirinya sendiri apabila
lingkungan menghargainya. Demikian pula sebaliknya, apabila lingkungan
memberikan respon negatif terhadap keberadaan siswa tunadaksa, maka konsep diri
negatif dapat terbentuk pada siswa tunadaksa dan menyebabkan perilaku sosial
yang negatif.
d. Perkembangan
Bahasa atau Bicara
Pada siswa tunadaksa
dengan kelainan sistem otot dan rangka, perkembangan bahasa atau bicaranya
tidak begitu berbeda dengan siswa normal. Lain halnya dengan siswa tunadaksa
dengan kelainan sistem serebral, sebagian besar dari mereka menunjukkan adanya
gangguan bicara (Somantri, 2007:130). Menurut Assjari (1995:70) dan Astati (2009:7),
terdapat tiga penyebab adanya gangguan bicara atau bahasa, yaitu:
1) Adanya kelainan motorik pada otot-otot organ bicara, misalnya lumpuh atau kaku pada lidah, bibir, dan rahang bawah, sehingga mempersulit dalam berucap secara lisan.
2) Adanya ketidakmampuan meniru bicara orang lain, baik karena lemahnya persepsi, kurangnya interaksi dengan orang lain, maupun karena faktor lainnya.
3) Ada kelainan di pusat bicara di otak sehingga mempengaruhi proses bicara. Contoh kelainan ini yaitu aphasia sensoris, yakni ketidakmampuan bicara karena organ reseptor terganggu fungsinya, dan aphasia motorik yang merupakan ketidakmampuan mengungkapkan suatu informasi secara lisan.
2) Adanya ketidakmampuan meniru bicara orang lain, baik karena lemahnya persepsi, kurangnya interaksi dengan orang lain, maupun karena faktor lainnya.
3) Ada kelainan di pusat bicara di otak sehingga mempengaruhi proses bicara. Contoh kelainan ini yaitu aphasia sensoris, yakni ketidakmampuan bicara karena organ reseptor terganggu fungsinya, dan aphasia motorik yang merupakan ketidakmampuan mengungkapkan suatu informasi secara lisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar