1. Self-Regulated
Learning Siswa
Tunadaksa
a.
Karakteristik Self-Regulated Learning Siswa Tunadaksa
1)
Siswa Tunadaksa tanpa Hambatan Inteligensi
Pada siswa tunadaksa dengan inteligensi normal, potensi untuk menguasai self-regulated
learning sama seperti pada siswa normal. Artinya, siswa tunadaksa ini
memiliki kemampuan untuk melakukan self-regulated learning dengan baik
layaknya siswa normal. Namun dalam praktiknya, siswa tunadaksa memiliki
kesempatan yang lebih sedikit untuk mengembangkan self-regulated learning tersebut.
Hal ini dikarenakan masalah kesehatan yang dialami siswa tunadaksa atau kontrol
lingkungan yang ketat (Ormrod, 2011:353). Akibatnya, kesempatan untuk
mengembangkan diri, termasuk mengembangkan self-regulated learning,
lebih sedikit dibandingkan siswa normal.
2)
Siswa Tunadaksa dengan Hambatan Inteligensi
Menurut
Ormrod (2011:353), karakteristik self-regulated learning siswa tunadaksa
dengan hambatan inteligensi adalah sebagai berikut.
a) Sedikit kesempatan untuk mengembangkan self-regulated learning karena
permasalahan kesehatan atau kontrol lingkungan yang ketat
b) Rendahnya self-efficacy (yakin pada kemampuan diri) dalam
melaksanakan tugas belajar
c) Cenderung melihat teman atau orang lain untuk mendapatkan petunjuk
melakukan suatu hal
d)
Target capaian prestasi yang rendah
e)
Sedikit atau tidak ada self-regulated learning
b.
Cara Meningkatkan Self-Regulated Learning Siswa Tunadaksa
1)
Siswa Tunadaksa tanpa Hambatan Inteligensi
Ormrod
(2011:353) menunjukkan cara meningkatkan self-regulated learning siswa
tunadaksa tanpa hambatan inteligensi sebagai berikut.
a)
Mengajarkan bagaimana cara untuk membentuk kemandirian diri sendiri
b)
Mengajarkan siswa untuk membuat afirmasi positif (misalnya “aku pasti
bisa!”) untuk meningkatkan self-efficacy (yakin pada kemampuan diri)
sehingga siswa dapat melakukan suatu hal secara mandiri.
2)
Siswa Tunadaksa dengan Hambatan Inteligensi
Berikut
adalah cara meningkatkan self-regulated learning siswa tunadaksa dengan
hambatan inteligensi (Ormrod, 2011:353).
a) Membantu
(scaffold) siswa dalam menjalani
proses belajarnya sehingga meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar.
b) Memberikan
contoh (model) cara belajar yang
diharapkan, baik dari guru maupun dari teman sebaya.
c) Mendorong
siswa untuk membuat tujuan belajar yang tinggi namun tetap dapat dicapai secara
realistis.
d) Membantu
membentuk kontrol diri dalam belajar dalam rangka mencapai tujuan belajarnya.
Tinggi rendahnya self-regulated learning
siswa tunadaksa dipengaruhi jenis kelainan yang diderita,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung misalnya
berupa hambatan inteligensi pada siswa cerebral palsy yang secara langsung
menghambat perkembangan self-regulated learning. Pengaruh secara tidak
langsung misalnya karena kondisi kesehatan siswa sehingga siswa harus mengikuti
kontrol lingkungan yang ketat dan terbatasnya pengembangan diri.
Cara
meningkatkan self-regulated learning pada siswa tunadaksa dimulai dengan
memanfaatkan apa yang bisa dilakukan siswa tersebut. Setiap siswa tunadaksa
memiliki karakteristik kemampuan dan hambatan yang berbeda sehingga memerlukan
cara yang berbeda untuk meningkatkan self-regulated learning sesuai
karakteristik tersebut.
2. Kaitan Antara Self-Regulated
Learning dengan Hasil Belajar Pendidikan Jasmani Adaptif Siswa Tunadaksa
Siswa tunadaksa memiliki self-regulated learning walaupun dengan
kadar yang berbeda pada masing-masing jenis tunadaksa. Tunadaksa tanpa hambatan
inteligensi memiliki potensi self-regulated learning menyamai siswa
normal (Ormrod, 2011:353). Sedangkan tunadaksa dengan hambatan inteligensi juga
memiliki self-regulated learning meskipun dengan kadar yang sedikit (Ormrod,
2011:353). Adanya self-regulated learning pada siswa tunadaksa dapat
diindikasikan dari kemauan dan kemampuan untuk belajar (Woolfolk
dkk, 2008:403).
Pendidikan jasmani adaptif merupakan layanan pendidikan jasmani yang didesain khusus bagi siswa berkebutuhan
khusus. Dalam pendidikan jasmani adaptif terdapat berbagai aktivitas
perkembangan, latihan, permainan, senam, dan olahraga yang disesuaikan minat,
kemampuan, dan keterbatasan siswa (The
University of the State of New York, 1997:4). Aktivitas-aktivitas ini
dijalani oleh siswa sebagai proses belajar untuk mencapai performa jasmani yang
lebih baik.
Self-regulated
learning melingkupi tiga area, yaitu kognisi,
motivasi, dan perilaku (Endedijk, 2006:9). Ketiga area ini, menurut Wolters dkk
(2003:6), merupakan fungsi psikologis (psychological functioning).
Sementara itu, aktivitas yang terdapat dalam pendidikan jasmani adaptif meliputi aktivitas perkembangan, latihan, permainan, senam, dan olahraga yang didesain
sesuai dengan kebutuhan pendidikan jasmani yang unik pada individu-individu (Ping,
2000:3). Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas dalam ranah fisik.
Self-regulated
learning melingkupi tiga area yang berada dalam ranah psikologis. Hal ini berarti tinggi rendahnya self-regulated learning hanya mempengaruhi tiga area ini. Atau dapat dikatakan bahwa self-regulated
learning mempengaruhi aspek psikologis. Sedangkan aktivitas-aktivitas yang ada dalam pendidikan jasmani adaptif merupakan aktivitas fisik. Self-regulated learning tidak melingkupi ranah fisik. Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil simpulan bahwa antara self-regulated learning dengan
hasil belajar pendidikan jasmani adaptif siswa tuna daksa tidak memiliki hubungan atau tingkat hubungannya rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar